JAKARTA, iNews.id – Agama dan kepercayaan adalah bagian dari warisan budaya bersama yang perlu dilestarikan untuk memperkaya kemanusiaan dan kebersamaan.
Hal tersebut disampaikan Kepala Esoterik Denny JA dalam sambutan pembukaan bersamaan dengan perayaan Imlek dan diskusi bertajuk “Etika Ajaran Khonghucu” di Gedung Balai Pelatihan Kesehatan (BPPK), Cilandak, Pondok Labu, Jakarta Selatan, Sabtu (11/10). /2/2023).
Esoterisme sendiri merupakan forum spiritual yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan tanpa memandang latar belakang identitas agama. Perayaan Imlek secara tatap muka juga merupakan bagian dari upaya Esoterisme untuk merayakan hari raya keagamaan sebagai bagian dari warisan budaya bersama.
Pada acara tersebut, hadir lebih dari 100 perwakilan dari beberapa agama dan kepercayaan, yaitu Islam, Hindu, Katolik, Protestan, Khonghucu, Budha, Hindu, Syiah, Ahmadiyah, Sikh, Baha’i dan Kepercayaan.
Turut hadir sebagai moderator adalah Dosen Sekolah Filsafat Driyarkara (STF). Budhy Munawar-Rachman dan dua pembicara yang membahas lebih dalam tentang nilai filosofis dan etika ajaran Khonghucu yaitu intelektual Islam Dr. Neng Dara Affiah dan Ketua MATAKIN/Ketua Dewan Pakar INTI, XS. Ir. Budi S. Tanuwibowo, MM.
Sementara itu, dalam sambutannya, Denny JA mengutip sebuah artikel di The New York Times edisi 21 Januari 2023 tentang Malam Tahun Baru Imlek, atau Tahun Baru Imlek di Amerika Serikat.
“Yang baru di Amerika Serikat, menurut berita ini, sebanyak 21 anggota kongres di Amerika Serikat berasal dari Asia dan Hispanik. Ini merupakan jumlah terbesar yang pernah ada dalam sejarah kongres Amerika Serikat,” ujar Denny.
Merujuk kabar, untuk pertama kalinya Imlek merupakan hari libur di negara bagian California. Sebelumnya, Tahun Baru Imlek merupakan hari libur sekolah umum di New York.
“Kalau soal Imlek, Tahun Baru Imlek, itu panggilan budaya tertinggi bagi orang-orang keturunan Tionghoa di Amerika Serikat,” kata Denny.
“Mereka mempraktikkan tradisi. Menyediakan makanan khas China. Bagi-bagi uang di ampua dengan amplop merah. Barongsai bergoyang maju mundur,” lanjutnya.
Namun, jelasnya, meski mempertahankan tradisi, mereka hidup dalam budaya sosial politik yang berbeda dengan negara asal nenek moyang mereka di China.
Denny selanjutnya menyinggung buku Stephan C Angle berjudul “Filsafat Politik Konfusianisme Kontemporer: Menuju Konfusianisme Progresif (2012)”. Denny menjelaskan, buku ini menginspirasi masyarakat Tionghoa yang tinggal di dunia barat khususnya, yang membutuhkan pemahaman dan interpretasi yang lebih tepat terhadap ajaran Konghucu.
“Dalam paham Khonghucu yang progresif ini, mereka tetap mempertahankan filosofi inti Khonghucu untuk ajaran moral individu,” ujar Denny.
“Aturan Emas Konfusius semakin populer, ‘lakukan kepada orang lain seperti yang Anda ingin mereka lakukan kepada Anda.’ Jangan lakukan kepada orang lain, apa yang Anda tidak ingin orang lain lakukan kepada Anda,’” jelasnya.
Namun, untuk prinsip moralitas kolektif, moralitas ruang publik, Konfusianisme Progresif menolak budaya politik yang saat ini berkuasa di Tiongkok.
Denny menjelaskan, di China, ajaran Khonghucu tersubordinasi sehingga berkembang berdampingan, selaras dengan sistem politik yang tidak menghargai hak asasi manusia, tidak demokratis, tidak menghormati persamaan hak perempuan.
Sedangkan Khonghucu progresif hanya menginginkan keharmonisan dengan budaya yang menghargai hak asasi manusia, demokratis, dan menjunjung tinggi persamaan hak-hak perempuan.
“Buku Konfusianisme Progresif ini sejalan dengan tradisi Islam di Eropa. Dua puluh tahun sebelum buku Progressive Confucianism diterbitkan, di Eropa, ada seorang pemikir bernama Bassam Tibbi. Sejak tahun 1990-an, Tibbi mengembangkan pemahaman Eropa tentang Islam,” jelas Denny.
Baginya, lanjut Denny, Islam yang berkembang di Eropa perlu memisahkan diri dari Islam yang tumbuh di negara asalnya, yaitu Timur Tengah. Islam di Eropa harus berkembang dengan nilai-nilai Eropa yang menganut HAM, demokrasi dan persamaan hak bagi perempuan.
“Begitulah kita menyaksikan evolusi pemahaman agama. Tidak ada lagi ideologi One Size Fits All; satu agama untuk semua,” tambahnya.
Negara-negara maju menginginkan pemahaman, penafsiran dan penafsiran agama yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Pemahaman agama yang mereka butuhkan sangat berbeda dengan apa yang saat ini dominan di negara asal agama tersebut.
“Kami menggarisbawahi pentingnya melahirkan, memilih dan mempopulerkan tafsir agama yang tepat. Pemahaman agama yang berbeda dapat melahirkan negara yang berbeda. Penafsiran agama yang berbeda bisa melahirkan masyarakat yang berbeda pula,” kata Denny.
Menurutnya, memilih dan mempopulerkan tafsir agama yang tepat dirasa lebih penting bagi negara kita, Indonesia. Di negeri ini, jejak agama di benak masyarakatnya sangat dalam.
“Lebih dari 90 persen penduduk di Indonesia mengatakan agama sangat penting bagi kehidupan mereka,” ujarnya.
“Kami menghindari dua keyakinan agama ekstrim. Pertama, paham yang memaksakan agama sebagai konstitusi di ranah publik. Itu pemahaman yang memahami agama secara tekstual dan menginginkan kebijakan pemerintah sejalan dengan tafsir kitab suci mereka sendiri,” lanjutnya.
Dasar paham keagamaan ini adalah kurangnya penghargaan terhadap keberagaman, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Diukur dari berbagai indeks, mulai dari Indeks Pembangunan Manusia hingga Indeks Kebahagiaan Dunia, negara-negara yang didominasi oleh agama sebagai konstitusi pemerintahannya memiliki indeks yang lemah.
Paling ekstrim, lanjut Denny, kita juga menghindari sikap anti agama. Itulah anggapan bahwa agama hanyalah narasi pra-ilmiah. Tempat agama dalam pandangan ini hanya bernilai sebagai kajian sejarah murni, dan pada saat agama masuk museum.
Pandangan ini juga membuang tradisi lama tentang khazanah sejarah. Agama pada dasarnya adalah harta karun yang darinya kita dapat menggali kekayaan dan kedalaman spiritualitas manusia yang kompleks.
“Kami mengembangkan pemahaman agama tentang jalan tengah. Itulah agama yang sejalan dengan prinsip HAM, hak perempuan, demokrasi dan ilmu pengetahuan,” jelas Denny.
“Esoterisme dijadikan bagian dari gerakan. Sekecil apa pun, upaya harus terus dilakukan agar di Indonesia pada saat agama dominan, hak asasi manusia dipahami,” lanjutnya.
Karena itulah dalam forum Esoterik tatap muka ini, tidak hanya orang-orang dari berbagai agama dan kepercayaan yang diundang. Namun juga mengundang komunitas hak asasi manusia dan hak perempuan.
“Ini adalah impian kami. Akankah mimpi ini menjadi kenyataan? Impiannya adalah pandangan agama yang pro-HAM menjadi dominan di Indonesia?” Dia bertanya.
“Kita masih ingat lirik lagu Imagine, John Lennon: You may say I am a dreamer. Tapi aku bukan satu-satunya. Saya harap suatu hari Anda bergabung dengan kami. Dan dunia akan menjadi satu,” katanya.
“Mimpi telah dijanjikan. Selebihnya adalah perjuangan,” pungkas Denny JA.
Editor: Yudistiro Pranoto